xvideo hot housewife fucking younger guy. xxnx endless blowjb at work. sluty girl
Muhammad Adib Alfarisi
Spread the love

Muhammad Adib Alfarisi
Anggota Majelis Pustaka dan Informasi PDM Kubu Raya

MYKALBAR.COM – Di tengah dominasi kepentingan politik dan kekuasaan yang kuat, kemajuan pemberantasan korupsi dan penegakan hukum di Indonesia stagnan. Kasus Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme (KKN) muncul pada akhir tahun 1998, menunjukkan bahwa ketika korupsi politik meningkat, konstitusi dan hukum menjadi tidak relevan. Karena kurangnya transparansi dan pertanggungjawaban publik, monopoli pemerintah terkait lembaga Bulog dan Pertamina menyebabkan korupsi. Dengan cara yang sama, DPR tidak memiliki kekuatan politik yang cukup untuk menangani masalah ini saat Orde Baru. DPR dan penegak hukum tidak memperhatikan kritik Harian Indonesia Raya terhadap kinerja, manajemen, dan akuntabilitas Pertamina. Akibatnya, korupsi politik berkelanjutan. Meskipun demikian, Lembaga Bantuan Hukum (LBH), yang tergabung dalam Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), adalah satu-satunya lembaga hukum yang menentang praktik represif dan korup Orde Baru.

Penegakan Hukum

Apalagi sebelum reformasi dan transisi 1970-an, penegakan hukum dan kejahatan di Indonesia terkait dengan kejahatan white-collar seperti penggelapan, korupsi, dan suap. Pada waktu itu, korupsi di Indonesia menjadi masalah besar yang sulit diatasi. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 memulai proses hukum, memberikan ancaman hukuman seumur hidup bagi mereka yang melakukan korupsi. Karena korupsi dalam berbagai bentuknya masih menjadi masalah sosial yang berkelanjutan hingga saat ini, penegakan hukum tidak terbukti berhasil menangani kejahatan politik. Untuk meningkatkan sistem penegakan hukum, adapun asas legalitas dan persamaan di hadapan hukum harus diterapkan secara konsisten. Selain itu, Hukuman yang korup adalah undang-undang yang merampas hak-hak strategis rakyat, seperti undang-undang yang dibuat selama penjajahan Belanda, Orde Baru, dan Orde Lama. Mereka dianggap sebagai alat kekuasaan yang menghasilkan aturan yang tidak menguntungkan bagi rakyat dan peradaban bangsa. Akibatnya, perlu ada tindakan untuk menghilangkan motivasi kekuasaan yang tersembunyi di dalam aturan hukum.

Selain itu, pelaksanaan peradilan harus transparan, yang berarti memungkinkan pendapat yang berbeda (dissenting opinion) diterima, terutama dalam kasus korupsi. Korupsi sistemik seringkali disebabkan oleh campur tangan negara atau pemerintah yang memiliki hubungan ekonomi yang kuat, seperti yang terlihat di negara-negara komunis dan otoriter lainnya. Monopoli usaha yang dikelola oleh negara merupakan bentuk campur tangan negara dalam ekonomi yang memungkinkan korporasi dan negara untuk memperoleh keuntungan yang lebih besar. Ini menyebabkan situasi di mana kepentingan pribadi, keluarga, kelompok, dan kroni tersembunyi di balik kekuasaan yang memonopoli negara. Demikian sistem yang mengeksploitasi menghambat kepentingan individu dan kelompok terhadap kekayaan negara. Penyalahgunaan kekuasaan politik yang tidak adil dan pengeksploitasi kekayaan negara juga menyebabkan kerugian sistematis bagi negara. Sejarah perkembangan dan transformasi dalam kehidupan masyarakat manusia menunjukkan bahwa kekuasaan cenderung meningkat, dan mereka yang memiliki kekuasaan selalu berusaha untuk memperluasnya. Selain itu, ketidakseimbangan antara peningkatan dan perubahan kontrol selalu menyebabkan korupsi kekuasaan.

Politik Hukum

Pemerintah Republik Indonesia di masa Orde Baru dan Orde Lama telah menolak konvensi Internasional seperti hak-hak sipil, politik, dan ekonomi. Dalam situasi seperti ini, diskusi tentang hak asasi manusia di Indonesia menjadi terbatas, karena hukum hanya berfungsi sebagai alat administrasi yang melegitimasi praktik ekonomi yang korup, politik yang otoriter, dan hubungan transaksional yang gelap antara mereka yang memegang kekuasaan dan investor.

Produksi undang-undang oleh lembaga legislatif yang berasal dari Sistem politik dan pemilu yang tidak demokratis akan menghasilkan undang-undang dengan pasal-pasal yang dianggap menguntungkan penguasa; contohnya adalah UU Partai Politik dan UU Pemilu, yang merupakan produk Orde Baru; bahkan RUU Omnibus, yang merupakan hasil dari sistem politik dan pemilu yang tidak demokratis, masih diperdebatkan bahkan beberapa telah menjadi UU. Namun, jika demokrasi tidak didukung oleh hukum yang adil dan hanya didukung oleh kekuatan fisik, seperti militer dan penggalangan massa, itu akan terlihat sombong. Hukum represif, seperti UU Subversi UU No. 11/1963, adalah yang paling menonjol. Salah satu undang-undang pidana ini dalam praktiknya membatasi hak-hak politik individu seperti mahasiswa, intelektual, dan tokoh Islam yang kritis selama Orde Lama dan Orde Baru. Perangkat hukum yang tegas ini menjadi bagian dari “kultur politik”, atau budaya politik yang dominan selama Orde Baru, dan berfungsi sebagai instrumen untuk mempertahankan kekuasaan rezim.

Demokrasi Keberpihakan Penguasa

Di sisi lain, demokrasi yang didukung oleh hukum yang didasarkan pada prinsip-prinsip kebajikan dan keadilan akan tampak mewah dan berkuasa. Banyak media cetak dan elektronik muncul sebagai akibatnya pemerintahan Presiden Soeharto, yang dengan praktik korupsi yang mencerminkan Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme (KKN). Di bawah pemerintahan Soeharto, media cetak dilarang menyampaikan keinginan dan eksistensinya. Namun, sekarang ada suasana politik yang mendukung kebebasan pers. Namun, pertanyaannya adalah apakah kontrol sosial atas kekuasaan juga meningkat dengan jumlah media massa yang lebih besar. Kenyataannya, setelah kejatuhan rezim korup Orde Baru, jumlah penerbitan media massa di Indonesia meningkat pesat. Pasca Soeharto, Menteri Penerangan mengeluarkan hampir 1000 izin baru, menambah jumlah penerbitan sekitar 200 hingga 300 media yang sudah ada pada masa Orde Baru. Hingga tahun 2004, peningkatan izin ini tidak mengurangi tingkat korupsi di Indonesia, menunjukkan bahwa jumlah media massa terus meningkat.

Dalam hal reformasi hukum pidana, penting untuk diingat bahwa kejahatan politik dilakukan oleh lebih dari satu orang yang melanggar hukum dan menentang pemerintah untuk mengubah sistem politik, tetapi juga pemerintah sendiri yang melakukan kejahatan politik terhadap rakyat. Salah satu contoh penggunaan kerahasiaan dan nasehat oleh pemerintah untuk memanipulasi opini publik adalah kasus kontroversi tentang proses kelahiran Supersemar, yang hingga saat ini belum jelas apakah ada atau sengaja disembunyikan, membuat banyak orang mempertanyakan tanggung jawab pemerintah terkait masalah tersebut. Selain itu, penyalahgunaan kekuasaan oleh pemerintah terutama berkaitan dengan tahanan politik dan hubungannya dengan konvensi dan ekstradisi Internasional, harus diatur melalui proses demokratis, sehingga substansi yang mengedepankan kepentingan rakyat, dan dengan membuat pasal-pasal hukum yang didasarkan pada prinsip yuridis, bukan pasal-pasal yang bersifat politis seperti UU Subversi. Selain itu, independensi lembaga peradilan, kontrol sosial politik yang mendukung, dan undang-undang pidana yang berkaitan dengan politik sangat penting.

Isu-Isu HAM dalam Penegakan Hukum

Karena korupsi politik terkait dengan penegakan hak asasi manusia, karena rezim yang korup lebih represif, yang berarti mereka yang berkuasa akan melanggar hak asasi rakyatnya dan mengabaikan hukum. Pengadilan Hak Asasi Manusia adalah bagian penting dari Sistem Peradilan Indonesia. Mereka bertanggung jawab untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat Indonesia dan masyarakat internasional terhadap kedaulatan hukum dan kepastian hukum. Pengadilan mendukung peradaban, demokratisasi, dan kebebasan. Pengadilan yang anggun dan kredibel akan mengubah prinsip-prinsip manusia dan memberikan pendidikan moral kepada umat manusia. Peradilan adalah hasil dari interaksi antara naluri kemanusiaan dan akal sehat.

Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) beroperasi berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 dengan mempertimbangkan nilai kemanusiaan, sensitivitas sosial, hak-hak pelaku, dan hak-hak korban. Korupsi dan kejahatan HAM bukan hanya hasil dari ketidakstabilan atau penyalahgunaan kekuasaan. Sumber atau peluang korupsi sering dikaitkan dengan pemberian monopoli kekuasaan kepada individu atau lembaga dengan kewenangan untuk mengambil keputusan yang luas, seperti dalam hal perpajakan, bea cukai, penegakan hukum, dan imigrasi. Oleh karena itu, kewenangan diskresioner dan monopolistik memerlukan pengawasan dan pengawasan yang ketat. Untuk memerangi korupsi dan pelanggaran HAM, masyarakat madani yang kuat, media yang proporsional, perguruan tinggi yang bersih, LSM yang kuat, dan organisasi sosial keagamaan yang aktif dapat membantu mengatur kekuatan. Korupsi politik dan pelanggaran HAM telah dikaitkan dengan pemerintahan Orde Baru. Dalam beberapa kasus, presiden dan aparatnya diidentifikasi, didakwa, dan dipidana. Sampai saat ini, banyak orang dan masyarakat berbicara tentang kelemahan penegakan hukum, yang akan memungkinkan orang untuk melakukan korupsi, yang dianggap sebagai “prestasi” diinginkan oleh “segelintir orang”. Tidak perlu diperangi jika remisi diberikan kepada narapidana koruptor. Pemerintah dan aparat penegakan hukum tidak memperhatikan korupsi dengan serius. Ada banyak kasus korupsi di mana negara mengalami kerugian yang mencapai miliaran bahkan triliunan rupiah. Namun, tanggapan pemerintah dan penegak hukum terhadap masalah ini tampaknya tidak serius dan santai.

Oleh karena itu, untuk mencegah korupsi di Indonesia, sistem hukum dan penegakan hukum harus diubah. Untuk mencapai aspek pencegahan umum dan pencegahan khusus, penerapan Code of Conduct yang memastikan bahwa hukuman yang tepat bagi koruptor diterapkan dengan konsisten. Korupsi yang dianggap sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime) memerlukan konsekuensi hukum dan keberanian moral. Selain itu, sangat penting untuk memastikan bahwa undang-undang dan standar moral berlaku yang memungkinkan mereka yang memegang kekuasaan politik dan pejabat pemerintah memahami dan menghargai hak asasi manusia (HAM). Oleh karena itu, upaya pencegahan, seperti hukum pidana, harus digunakan bersamaan dengan penanggulangan korupsi. Terakhir, sebagai negara yang meratifikasi Konvensi Internasional Antikorupsi, sikap Indonesia harus konsisten baik dalam hal nasional maupun bilateral.

Referensi

Barda Nawawi Arief, 2001, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti.

Kaplan, David, dan Manners, Albert A., 1999, Teori Budaya (terjemahan), Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Lev, Daniel S., Hukum dan Politik di Indonesia, LP3ES, Jakarta, 1990.

Mc. Closky, Herbert & Zaller, John, Ethos Amerika, Sikap Masyarakat Terhadap Kapitalisme dan Demokrasi (terjemahan: Drs. JFR. Sardono), Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1988.

Muhtar, M. H. (2019). Model Politik Hukum Pemberantasan Korupsi Di Indonesia Dalam Rangka Harmonisasi Lembaga Penegak Hukum. Jambura Law Review1(1), 68-93.

Nordholt, Nico G., Schulte & Bakker, Heleen E., Corruption & Legitimacy, SISWO Publication 393, Amsterdam, 1996.

Osborne, David & Gebler, Ted, Reinventing Government, How the Entrepreneurial Spirit Is Transforming the Public Sector, Addison-Wesley Publishing Company, Inc., New York, 1993

Poespoprodjo, W., Logika Scientifika, Pustaka Grafika, Bandung, 1999.

Ria Casmi Arrsa, Rekonstruksi Politik Hukum Pemberantasan Korupsi Melalui Strategi Penguatan Penyidik Dan Penuntut Umum Independen Kpk, Jurnal Rechts Vinding, Volume 3 Nomor 3, Desember 2014.

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1991.

Sjafri Sairin, Perubahan Sosial Masyarakat Indonesia, Perspektif Antropologi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002

kimberly cybersex model.porndigger
http://xxvideos.one amateur jerking huge cock.
tamil sex