Penulis : Rizky Kurniawan
MYKALBAR.COM – Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa (BEM KM) Universitas Muhammadiyah Pontianak (UMP) mengadakan Dialog Melingkar bertajuk “September Hitam: Refleksi Kemanusiaan – Melawan Lupa, Merawat Luka” pada Kamis, 18 September 2025.
Acara yang digelar di Taman Digulis ini bertujuan untuk merefleksikan kembali sejarah kelam bangsa dan mengenang perjuangan para aktivis yang menjadi korban pembungkaman oleh negara.
Diskusi yang digelar tersebut memaparkan September Hitam sebagai sebuah isyarat dan pengingat akan rentetan peristiwa kelam yang terjadi pada bulan September.
Para peserta diskusi menjelaskan bahwa bulan ini dipenuhi dengan cerita tentang tumpahan darah dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang dilakukan oleh para pemangku kepentingan negara. Sejarah kelam ini dimulai dari tragedi G30S/PKI tahun 1965, yang disebut sebagai pembunuhan massal terhadap rakyat tak bersalah, hingga kasus-kasus lain seperti tragedi Semanggi, Tanjung Priok, dan kasus kematian Munir, serta kasus-kasus yang lebih baru seperti Rempang dan pembunuhan Pendeta Yeremia.
Menpolhukam BEM KM UMP, Percy Philosophy, dalam sesi wawancara, menyampaikan pandangannya mengenai makna terdalam dari tema tersebut.
Menurutnya, refleksi ini bukan sekadar mengenang, melainkan untuk merasakan kembali penderitaan yang dialami masyarakat termarginalkan, yang dirugikan oleh kebijakan buruk, serta para aktivis yang dibungkam suaranya.
“Makna terdalam yang bisa saya sampaikan adalah bagaimana kita mencoba merasakan apa yang sebenarnya dirasakan oleh masyarakat dan aktivis yang berjuang di masa lalu,” ujar Percy.
Ia menambahkan, mereka telah berkorban, sehingga penting bagi generasi sekarang untuk mengingat dan merasakan kembali perjuangan mereka agar bisa meneruskannya di masa depan.
Menanggapi anggapan bahwa membahas sejarah kelam hanya akan membuka kembali luka, Percy memberikan alasannya. Ia menegaskan bahwa mengingat sejarah adalah cara untuk menghargai perjuangan para pahlawan dan aktivis yang telah gugur.
Ia menambahkan, mengingat sejarah juga bisa menjadi bahan bakar perlawanan agar hal serupa tidak terulang lagi. “Kita tidak ingin ada lagi yang mati, ada yang gugur, ada yang suaranya dibungkam. Hal-hal yang dulu terjadi, kita tidak ingin terjadi lagi,” tegasnya.
Di akhir wawancara, Percy menyampaikan harapan terbesarnya untuk bangsa Indonesia. Menurutnya, solusi agar tragedi serupa tidak terulang adalah dengan terus bersuara dan tidak diam.
“Kita harus tetap menyuarakan, kita jangan diam,” katanya.
Ia menekankan pentingnya membuka ruang-ruang diskusi dan forum dialog yang bisa membuka lebar paradigma berpikir masyarakat. Dengan begitu, masyarakat bisa melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana negara ini sebenarnya, terutama terkait kebijakan-kebijakan yang tidak pro-rakyat.
Percy berharap, dengan terus merefleksi dan berdiskusi, kesadaran masyarakat akan terbuka dan perlawanan terhadap ketidakadilan akan terus berlanjut.

