Penulis: Satyananda Wicaksana
(Ketua PW IPM Kalbar Bidang Advokasi dan Kebijakan Publik)
INDONESIA menjadi negara yang penuh dengan keberagaman, mulai dari perbedaan suku, ras, agama, hingga perbedaan pendapat antara ormas besar Islam. Muhammadiyah misalnya yang tidak sepenuhnya memiliki pendapat yang sama dengan Nahdlatul Ulama atau ormas islam lainnya, tapi bukan berarti hal tersebut membuat tiap kelompok menjadi bersebrangan.
Di Indonesia sendiri perbedaan pendapat antara ormas besar Islam kerap menjadi perbincangan hangat, salah satu yang cukup populer adalah perbedaan dalam menetapkan Idul Fitri. Muhammadiyah dikenal menggunakan metode hisab (menghitung peredaran bulan). Sedangkan NU atau pemerintah melalui Kemenag menggunakan rukyat (melihat peredaran bulan).
Perbedaan pendapat tersebut kembali menjadi perbincangan hangat ketika Prof. Dr. Abdul Mu’ti, M.Ed. selaku sekretaris PP Muhammadiyah merespon surat jawaban Wali Kota Sukabumi yang dikeluarkan pada 4 April 2023 terkait peminjaman Lapang Merdeka yang diajukan oleh PD Muhammadiyah Sukabumi untuk pelaksanaan sholat Ied.
Isi dari surat tersebut cenderung abu-abu sehingga terkesan bahwa pemerintah setempat melarang adanya pelaksanaan sholat Ied yang waktunya berbeda dari ketetapan pemerintah pusat. Tidak berselang lama pemerintah setempat melakukan klarifikasi dan mengungkapkan bahwa tidak ada maksud untuk melarang pelaksanaan sholat Ied.
Sukabumi bukan satu-satunya tempat yang menjadi perbincangan karena sebelumnya dianggap menolak pelaksanaan sholat Ied yang berbeda dengan ketetapan pemerintah pusat. Di beberapa tempat lain bahkan ada yang melakukan penolakan secara terang-terangan terkait peminjaman fasilitas publik untuk kepentingan sholat Ied khususnya warga Muhammadiyah.
Muhammadiyah yang memilih berbeda dengan pemerintah pusat dalam hal penentuan Idul Fitri ini masih menjadi perbincangan hangat serta menimbulkan pro dan kontra dikalangan masyarakat, Bahkan ada yang menganggap hal tersebut merupakan egoisme kelompok karena memilih tidak sejalan dengan pemerintah dalam hal penetapan Idul Fitri.
Konstitusi di Indonesia menjamin setiap warga negaranya untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya, jika memiliki pendapat yang berbeda dengan pemerintah pusat dianggap sebagai bentuk egoisme kelompok, maka seharusnya memaksa semua masyarakat untuk berpendapat sama juga termasuk sebuah keegoisan apalagi sampai membatasi penggunaan fasilitas publik.
Mempermasalahkan perbedaan pendapat seperti ini tidak akan ada habisnya, perlu adanya sikap toleran, moderat, dan juga terbuka dalam merespon adanya perbedaan pendapat. Perbedaan merupakan bagian dari keberagaman sehingga harus disikapi dengan cara yang positif bukan malah intimidatif.
Sebelum Indonesia merdeka seorang ilmuwan dari Inggris bernama J.S Furnivall dalam karyanya Netherlands East Indies: A Plural Economy, memprediksi bahwa Indonesia akan terpecah belah jika tidak jatuh kedalam genggaman kekuasaan Belanda. J.S Furnivall berpendapat demikian karena pluralitas Indonesia yang sangat luar biasa.
Pada 17 Agustus 1945 Indonesia justru mematahkan prediksi J.S Furnivall dengan memproklamasikan kemerdekaan. Masih kokohnya Indonesia hari ini sekaligus melihat prediksi dari J.S Furnivall diatas menjadi bukti bahwa Indonesia bisa menjadi besar dan kuat salah satunya karena ada keberagaman yang dijaga dan dirawat dengan baik.
Azyumardi Azra dalam bukunya yang berjudul Indonesia Bertahan juga mengatakan bahwa agama menjadi salah satu faktor penting dari proses tumbuhnya ikatan solidaritas yang melewati batas etnis dan tradisi sosial budaya di Indonesia, bukan malah sebaliknya memecah belah perbedaan.
Idul Fitri sejatinya membawa spirit silaturahmi yang sangat kental, mendatangi rumah keluarga atau kerabat satu persatu sembari memohon maaf menjadi bentuk interaksi yang positif. Idul Fitri yang membawa spirit silaturahmi ini jangan sampai dicoreng dengan narasi-narasi yang memecah belah, justru Idul Fitri harus jadi dorongan untuk berkolaborasi dalam merawat keberagaman.
Indonesia besar karena ada keberagaman yang dirawat dengan baik, maka oleh karena itu Idul Fitri kali ini harus menjadi momentum kolaborasi dalam merawat keberagaman itu sendiri, karena perbedaan yang direspon secara intimidatif justru berpotensi mencoreng konstitusi dan wajah Islam yang moderat.