MYKALBAR.COM – Sekretaris Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah sekaligus Mendikdasmen RI, Abdul Mu’ti menyampaikan sejumlah pesan saat menghadiri Refleksi Milad ke-94 Nasyiatul Aisyiyah “Perempuan Tangguh, Cerahkan Peradaban” pada Sabtu, 13 Mei 2025.
Ia mengatakan, kompleksitas dan derasnya arus informasi melahirkan empat fenomena yang perlu menjadi perhatian bagi manusia, sebab menjadi tantangan peradaban dan keadaban manusia.
Fenomena pertama yang perlu diperhatikan adalah matinya kepakaran atau The Death of Expertise sebagaimana yang ditulis oleh Tom Nichols. Deras arus informasi disebut Nichols membawa perubahan drastis pada penerimaan informasi manusia.
“Teknologi internet membuat kita bisa mengakses informasi dengan mudah dan sangat cepat. Dunia itu berada di genggaman tangan kita. Apalagi sekarang orang berbicara mengenai AI (Artificial Intelligence),” katanya.
Teknologi internet memang memberikan banyak kemudahan bagi manusia, akan tetapi di sisi lain juga menjadi seteru manusia itu sendiri, seperti menyebabkan semakin banyaknya pekerjaan yang hilang diganti Akal Imitasi.
Tak hanya pekerjaan di bidang-bidang formal, tapi AI juga menjadi ancaman serius bagi otoritas keagamaan mapan. Umat sekarang sudah semakin banyak yang memilih bertanya ke Google, ketimbang ke ulama atau pemuka agama.
Selanjutnya fenomena yang perlu diperhatikan adalah matinya akal sehat atau The Death of Mind sebagaimana buku yang ditulis oleh Franklin Foer. Fenomena ini ditandai dengan ketidakmampuan orang untuk berpikir mendalam dan kritis, mereka hanya mensimplifikasi informasi.
Mu’ti mencontohkan seseorang yang saat ini merasa cukup untuk membaca judul sebuah berita saja, dari sebuah judul itu kemudian seseorang sudah merasa mendapatkan informasi yang benar. Padahal judul tersebut dibuat oleh media hanya untuk sekadar sensasi.
“Sehingga sekarang muncul perilaku manusia yang tidak bisa menerima pendapat. Karena dia mencari informasi yang membenarkan apa yang dia inginkan,” ungkapnya.
Fenomena ketiga adalah matinya keadaban digital. Orang Indonesia banyak hidup di dunia digital, tapi digital civility index atau indek keberadaban digital Indonesia menurut Microsoft pada tahun 2020 menunjukkan sebagai yang paling buruk di ASEAN.
Warganet Indonesia menurut Mu’ti seakan begitu ringan dan tak ada beban ketika memberikan hujatan dengan kata-kata hinaan di dunia digital. Hujatan tersebut sering bersembunyi dibalik istilah ‘kritik’, padahal yang disampaikan tidak berdasar ilmu dan nalar yang sehat.
“Repotnya kadang-kadang, banyak orang termasuk sebagian pejabat mengambil kebijakan berdasarkan apa kata netizen. Padahal kata netizen itu belum tentu mencerminkan kecerdasan dia, pemahaman dia terhadap suatu persoalan,” katanya.
Fenomena tersebut kemudian melahirkan masalah baru yang menjadi penyakit warganet yaitu the problem of popularity. Pertarungan baik atau buruknya kebijakan berpijak pada popularitas yang kemudian dibantu para pendengung atau buzzer.
“Ini masalah kita yang sangat serius. Digital civility index kita itu bisa jadi merefleksikan keadaban rill masyarakat kita saat ini,” ungkapnya.
Fenomena keempat yang perlu mendapat perhatian adalah matinya rasa malu. Publik terlebih warganet tidak memiliki rasa malu ketika berbuat salah, bahkan tidak malu jika berbuat dosa.
Mengutip peribahasa Jawa “sing salah seleh”, Mu’ti menyebut bahkan ungkapan ini sudah tidak berlaku. Padahal dalam ajaran Islam juga disebutkan, bahwa malu itu sebagian dari ciri orang-orang beriman.
“Jadi kalau orang sudah tidak ada lagi rasa malu berbuat salah, tidak ada lagi rasa malu berbuat dosa, itulah kehancuran dari keadaban tersebut,” ungkapnya.
Oleh karena itu Mu’ti mendorong peran Nasyiatul Aisyiyah untuk membangun keadaban dan peradaban. Membangun keadaban bisa dilakukan dengan basis ibadah, dan membangun peradaban berbasis pada ilmu.