xvideo hot housewife fucking younger guy. xxnx endless blowjb at work. sluty girl
Dr. Eka Nugraha Putra (NUS) dalam diskusi di Lab Hukum FH UM Pontianak pada Senin, 29 September 2025. Ia mendesak pemerintah menghapuskan sanksi pidana untuk kasus ekspresi.
Spread the love

Penulis: Rizky Kurniawan

MYKALBAR.COM – Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Pontianak (UM Pontianak) menyelenggarakan peluncuran buku dan diskusi internasional dengan tema “Free Speech in Indonesia: Legal Issues and Public Interest Litigation” pada Senin, 29 September 2025.

Acara yang berlangsung di Laboratorium Hukum ini menghadirkan Dr. Eka Nugraha Putra, seorang Research Fellow dari Centre for Trusted Internet and Community, National University of Singapore (NUS), sebagai penulis sekaligus pembicara utama.

Diskusi ini membahas secara mendalam isu hukum, litigasi kepentingan publik, dan kebebasan berekspresi di Indonesia..

Dalam sesi wawancara eksklusif, Eka Nugraha memaparkan latar belakang, temuan kunci, dan rekomendasi mendesak terkait risetnya yang juga tertuang dalam bukunya.

Eka menjelaskan bahwa keputusannya untuk fokus pada isu hukum dan litigasi kepentingan publik dalam konteks kebebasan berekspresi berawal jauh ke belakang, dari masa kuliahnya. Ketertarikannya muncul dari mata kuliah hukum pidana pers dan aktivitasnya di Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Jurnalistik.

“Saya tertarik, kemudian ingin belajar lebih dalam. Kebetulan saya juga aktif di UKM Jurnalistik, sehingga menjadi satu kesatuan,” ungkapnya.

Dari sana, ia menemukan celah isu hukum yang belum diatur secara komprehensif, khususnya antara hukum dengan media, dan belakangan, hukum dengan teknologi—salah satunya adalah soal pengaturan ekspresi di internet.

Secara akademis, konteks ini menjadi penting dan menarik karena Indonesia merupakan salah satu dari segelintir negara di dunia yang mengatur ekspresi online sehingga dapat dikriminalisasikan dan diatur secara pidana. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar, terutama karena Indonesia adalah negara demokratis.

“Kalau negara demokratis yang harusnya wajar ekspresi itu bising, berisik, dan kemudian suara dari mana-mana muncul untuk menjaga negara ini berjalan dengan benar, kok malah dihentikan, kok malah diberangus? Itu mungkin menjadi pertanyaan,” jelas Eka.

Inilah yang menjadi dasar ketertarikan personal dan akademisnya. Mengenai temuan kunci terkait dampak regulasi seperti KUHP dan UU ITE terhadap kebebasan berekspresi, baik secara online maupun offline, Eka menyoroti kecenderungan hukum di Indonesia yang masih membedakan kedua ranah tersebut.

Namun, masalah yang lebih spesifik adalah pendekatan yang digunakan: pengaturan dengan sanksi pidana.

Eka menekankan bahwa mekanisme penyelesaian sengketa ekspresi, seperti pencemaran nama baik, sebetulnya sudah diatur dalam Hukum Perdata (pasal 1368, 1372 KUHPerdata) sebagai perbuatan melawan hukum.

Mekanisme ini berujung pada pembayaran ganti rugi, bukan pemenjaraan. “Jadi saya minta orang itu untuk bayar ganti rugi, mekanisme itu ada. Tapi oleh sistem hukum kita, sepertinya cenderung diabaikan dan kemudian lebih menggunakan mekanisme hukum pidana,” ujarnya.

Ia menilai pilihan mekanisme pidana ini didasari alasan kemudahan dan kecepatan yang beranggapan bahwa “orang ini berisik, penjarakan saja”.

Padahal, seharusnya pelaporan tersebut bersifat individu dengan individu, dan tidak membuang-buang sumber daya negara (polisi, jaksa, penjara) untuk menyelesaikan hubungan hukum yang bersifat pribadi. Hal inilah yang kemudian menjadi fokus pada kepentingan publik.

Melihat kelemahan yang ada, Eka menawarkan satu rekomendasi hukum dan kebijakan yang paling mendesak untuk menciptakan kerangka hukum kebebasan berekspresi yang lebih sehat dan berimbang: menghapuskan sanksi pidananya.

Rekomendasi ini didasarkan pada kenyataan bahwa mekanisme ganti rugi dalam hukum perdata sudah tersedia. Menurutnya, memenjarakan seseorang adalah tindakan yang terlalu berlebihan dalam menggunakan sumber daya negara, tidak berbasis kepentingan publik, dan mengancam demokrasi.

Eka juga mengingatkan bahwa penghapusan sanksi pidana bukan berarti ekspresi boleh sembarangan, namun batasannya tidak harus direspons dengan penjara.

Ia menegaskan, jika pendekatannya berbasis kepentingan publik, maka kritik-kritik dari masyarakat harus dilihat sebagai upaya untuk memperbaiki kesejahteraan masyarakat dan negara ke depan, bukan sekadar dianggap sebagai “menghina” publik atau pemerintahan, narasi yang sayangnya sering dimainkan oleh elite.

Rekomendasi ini merupakan salah satu poin krusial yang ia sampaikan dalam bukunya.

kimberly cybersex model.porndigger
http://xxvideos.one amateur jerking huge cock.
tamil sex