MYKALBAR.COM – Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) menjadi salah satu tempat penyelenggaraan Muktamar ke-48 Muhammadiyah-Aisyiyah tanggal 18–20 November 2022.
Bagi kader Muhammadiyah yang pernah mengenyam pendidikan tinggi di kampus ini, tentu sekaligus menjadi momen untuk bernostalgia. Apalagi jika ada teman semasa kuliah dahulu yang juga menghadiri muktamar di kampus tersebut.
Dr. Ahmad Jais merupakan satu di antara lulusan UMS dari Jurusan Perbandingan Agama, Fakultas Ushuluddin. Masa kuliahnya sekitar empat tahun dari 1990 hingga 1994.
Pada momen muktamar ini, mantan Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Kalbar ini mengisahkan pengalamannya kuliah di UMS. Ia mengatakan, pada masa itu mahasiswa di Jurusan Perbandingan Agama, jarang yang menyelesaikan studi 4 tahun ke bawah.
“Waktu itu mahasiswa itu kuliah sampai 5 tahun, enam tahun, bahkan ada yang sampai delapan hingga 10 tahun,” kata Jais menceritakan kisahnya kepada MyKalbar.com di Surakarta, Sabtu 19 November 2022.
Ahmad Jais mengatakan, lamanya masa kuliah mahasiswa saat itu bisa jadi karena faktor pihak kampus atau individu mahasiswanya. Dengan keinginan memperbaiki keadaan, ia pun mencoba mencari solusi melalui berdiskusi dengan dekan.
“Pada saat itu saya bicara sama dekan, saya bilang kalau saya agak takut kuliah di sini, karena ada yang sudah 6-7 tahun belum selesai. Apakah tidak ada kebijakan dari fakultas agar perkuliahan itu bisa selesai 4 tahun tanpa mengurangi kualitas,” ujarnya mengenang pembicaraan dengan dekan kala itu.
Dekan pun menyetujui masukan itu dan berharap Jais bisa menjadi “kelinci percobaan” atau percontohan. “Akhirnya saya diminta bagaimana caranya supaya cepat selesai,” katanya.
Jais lalu mengajukan proposal skripsi pada semester 5. Hal yang sangat langka dilakukan mahasiswa Ushuluddin saat itu.
Apalagi secara ketentuan, mahasiswa baru boleh mengajukan proposal skripsi pada semester 6.
Namun setelah mendapatkan persetujuan dekan, Jais akhirnya boleh mengajukan proposal skripsi di semester 5. “Maka saya selesailah kuliahnya dalam waktu 4 tahun kurang 14 hari,” kata Jais yang kini menjadi Penasihat PWM Kalbar.
Sementara terhadap kondisi fisik bangunan UMS, Jais mengatakan saat itu pun kampusnya sudah terbilang elite di Solo. Menurutnya, gedung UMS mulai pesat pembangunannya di masa Rektor Abdul Malik Fadjar.
Maka tidak heran kalau UMS termasuk kampus bergengsi, khususnya di wilayah Surakarta dan sekitarnya. Mahasiswa pun dengan bangga memilih masuk UMS, meski sebenarnya juga diterima di kampus negeri ternama.
Dari sekian tempat di UMS, menurut Jais, yang paling berkesan baginya adalah Pondok Pesantren Hajjah Nuriyah Shabran. Di ponpes khusus mahasiswa inilah dia tinggal dan memperdalam ilmu agama.
“Sejak saya masuk sampai lulus kuliah, saya ditempa di pondok pesantren itu. Di situ kami berkumpul dari seluruh Indonesia, semua daerah ada di situ, 27 provinsi waktu itu,” ujar pria asal Kabupaten Sambas ini.
Kini, perkembangan UMS secara fisik bangunan ternyata jauh lebih pesat. “Makanya saya agak pangling, edutorium itu dulu belum ada. Perkembangan UMS ini sungguh luar biasa,” katanya.
Pada momen Muktamar Muhammadiyah-Aisyiyah di Surakarta ini, Jais sebagai alumnus UMS punya kebahagiaan tersendiri. Bukan saja kembali berada di kampus tempatnya menimba ilmu, ia juga bisa berjumpa kembali dengan rekan-rekan satu angkatan semasa jadi mahasiswa.
“Tadi malam kami bertemu di dekat kampus, reuni masa lalu,” kata Dosen Fakultas Ushuluddin, Adab, dan Dakwah IAIN Pontianak ini.