xvideo hot housewife fucking younger guy. xxnx endless blowjb at work. sluty girl
Anshari Dimyati, S.H., M.H.
Spread the love

Anshari Dimyati, S.H., M.H.
Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Pemuda Muhammadiyah Kalimantan Barat
Bidang Hukum, HAM, & Advokasi / Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Pontianak

“Kehidupan kita sudah pasti berubah untuk mengatasi risiko wabah ini, itu keniscayaan. Itulah yang oleh banyak orang disebut sebagai new normal atau tatanan kehidupan baru.” Kata Joko Widodo, Presiden Republik Indonesia dalam pernyataan resminya di Istana Merdeka, Jakarta, Jum’at 15 Mei 2020, yang dilansir oleh berbagai media baik media nasional maupun luar.


Dalam laman website Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) – Rabu 27 Mei 2020, Presiden Joko Widodo juga telah meminta agar protokol mengenai tatanan normal baru yang sudah disiapkan Kementerian Kesehatan dapat segera disosialisasikan secara masif kepada masyarakat. Pengenalan yang lebih dini dan masif dari protokol tersebut diharapkan bisa meningkatkan kesadaran dan kedisiplinan masyarakat agar tetap produktif dan aman di tengah pandemi Covid-19.

Pernyataan tersebut di atas, banyak anggapan sebagai wacana persiapan dalam pemulihan di berbagai aspek kehidupan bernegara maupun bermasyarakat pasca pengendalian sebaran Virus Covid-19 atau Corona. Pemulihan dalam aspek kesehatan, psikologi, bahkan urgensi pemulihan ekonomi merupakan dampak utama yang dialami oleh masyarakat.
Pandemi belum hilang. Data sebaran peningkatan atau penurunan angka terjangkit virus tersebut juga beragam di setiap daerah sebagai zona merah atau hijau, PSBB atau daerah transmisi lokal. Namun masyarakat atau para ahli seringkali mempertanyakan konsistensi Pemerintah dalam memberlakukan peraturan hukum pada masa pandemi. Pencegahan dan pengobatan virus covid-19 merupakan hal terpenting saat ini, patut dipangkas, dan tentu solusi konkret yang diberikan pemerintah kepada rakyat.

Regulasi di Indonesia yang digunakan dalam masa pandemi Covid-19 saat ini salah satunya adalah Keputusan Menteri Kesehatan No. HK.01.07/MENKES/104/2020 tentang Penetapan Infeksi Corona Virus sebagai Penyakit Dapat Menimbulkan Wabah dan Penanggulangannya. Ada Undang-undang tentang Wabah Penyakit Menular, UU ini tak mengenal terminologi social distancing, istilah yang digunakan dalam UU ini adalah “Upaya Penanggulangan Wabah”.

Nefa Claudia Meliala, dalam artikel “Pidana Langgar “Social Distancing”” Kompas (Kolom Opini) – Kamis, 16 April 2020 menyebutkan bahwa upaya penanggulangan wabah itu bertujuan memperkecil angka kematian akibat wabah dengan pengobatan dan membatasi penularan serta penyebaran penyakit agar penderita tidak bertambah banyak. Agar wabah tidak meluas, salah satu cara adalah melalui Isolasi atau Karantina. Selain UU tentang Wabah Penyakit Menular, ada pula Undang-undang Karantina Kesehatan yaitu UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, UU ini juga tidak mengenal istilah “social distancing” akan tetapi “Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB)”. Regulasi yang lain adalah Maklumat Kapolri Nomor: Mak/2/III/2020 tentang Kepatuhan Terhadap Kebijakan Pemerintah Dalam Penanganan Penyebaran Virus Corona (Covid-19).

Dalam masa penyebaran yang masif pada dua bulan terakhir, untuk beberapa kasus, regulasi-regulasi di atas tak diterapkan secara ketat (pro justicia). Masih banyak gerai-gerai usaha yang membuka usahanya, aktivitas di pasar, tidak menggunakan masker, menggunakan sabun cuci tangan, atau aktivitas lain. Pemerintah juga dianggap tidak konsisten memberlakukan pelarangan mudik atau pulang kampung pada masa Puasa Ramadhan 1441 H/2020 M hingga Lebaran Hari Raya Idul fitri. Masih banyak yang lolos dengan syarat-syarat yang sudah ditetapkan.
Yang pula dianggap cukup krusial adalah banyaknya pelarangan terhadap tempat-tempat Ibadah seperti masjid, gereja, dan lainnya dalam aktivitas ibadah, namun di sisi lain masyarakat di hadapkan dengan kenyataan bahwa untuk mengakses mal-mal, keramaian di pasar dan lainnya acapkali diperjumpakan.

Faktanya bahwa hari ini pandemi Covid-19 belum mengalami penurunan secara signifikan. Bahkan di beberapa daerah ada yang mengalami peningkatan. Statement tentang “The New Normal” banyak mendapat reaksi dan spekulasi dari banyak orang maupun para ahli. Tentu risiko atas wabah ini belum teratasi secara baik dan efektif.
Dr. Hans Henri P. Kluge, Direktur Regional WHO untuk Eropa memberikan panduan untuk negara-negara Eropa yang akan menerapkan new normal. Setiap langkah untuk meringankan pembatasan dan transisi harus memastikan: 1. Terbukti bahwa transimsi Covid-19 telah dikendalikan; 2. Kesehatan masyarakat dan kapasitas sistem kesehatan mampu untuk mengidentifikasi, mengisolasi, menguji, melacak kontak, dan mengkarantina; 3. Mengurangi risiko wabah dengan pengaturan ketat terhadap tempat yang memiliki kerentanan tinggi terutama di rumah orang lanjut usia, fasilitas kesehatan mental dan pemukiman padat; 4. Pencegahan di tempat kerja ditetapkan, seperti jarak fisik, fasilitas mencuci tangan, etiket penerapan pernafasan; 5. Risiko penyebaran imported case dapat dikendalikan; dan 6. Masyarakat ikut berperan dan terlibat dalam transisi. (Sumber: Tempo dan WHO)

Paparan panduan yang barangkali relevan menjadi protokol new normal di atas jelas tak rasional bila diterapkan. Pertanyaan pertama yang patut pula kita pertanyakan adalah, bila protokol new normal tersebut hendak diterapkan, apakah terbukti bahwa transmisi Covid-19 telah dikendalikan secara masif di Indonesia? Di setiap daerah-daerah?. Kemudian, pertanyaan berikutnya bagaimana memastikan kesehatan masyarakat dan kapasitas sistem kesehatan mampu untuk mengidentifikasi, mengisolasi, menguji, melacak kontak, dan mengkarantina? Sedangkan untuk memenuhi APD (Alat Pelindung Diri) di setiap Rumah Sakit, Puskesmas-puskesmas, Klinik-klinik Pemerintah maupun Swasta sampai dengan seluruh plosok ujung perbatasan di Indonesia, pemerintah belum mampu memenuhi. Nutrisi-nutrisi yang sepatutnya terpenuhi secara baik untuk Paramedis kita juga belum terjamin secara penuh.

Point ketiga paparan panduan tersebut di atas juga kontradiktif dengan keadaan negeri kita saat ini, bahwa upaya mengurangi risiko wabah dengan pengaturan ketat terhadap tempat yang memiliki kerentanan tinggi terutama di rumah orang lanjut usia, fasilitas kesehatan mental dan pemukiman padat, membuktikan bahwa kita masih berada pada posisi darurat kesehatan, darurat Covid-19. Kita tidak bisa kemana-mana. Tetap “Stay at home”, konsekuensinya adalah tak boleh ada “work from office”, tak boleh ada sekolah yang buka, tak boleh gerai toko atau pasar yang buka.

Protokol new normal menjadi ambigu bila dihadapkan dengan inkonsistensi pemerintah dalam menerapkan aturan pada masa pandemi Covid-19 dalam uraian di atas. Maka dari itu pemerintah perlu serius mengkaji kembali soal fakta yang terbentang atas belum berhasilnya menerapkan regulasi-regulasi yang ada. Perlu pertimbangan matang dan pengkajian mendalam atas pemberlakuan “The New Normal”. Jangan sampai, wacana yang disebut “transisi” ini menjadi boomerang bagi semua masyarakat Indonesia. Berniat memperkecil angka sebaran pandemi corona, yang terjadi bahkan sebaliknya.

Diharapkan pula pemerintah agar tak terjebak dengan keluhan ekonomi masyarakat yang demikian ambruk. Kalau pandemi masih ada, pemberantasan virus tersebut yang utama. Bilamana sudah teratasi dan akurat perhitungannya, pemulihan ekonomi menjadi pilihan utama sesudah penanggulangan virus corona.

Akhirnya, kebijakan atau tindakan yang dikeluarkan pemerintah tentu dilakukan untuk kebaikan masyarakat/ummat, jangan sampai mencelakakan rakyat. Kalau ternyata Covid-19 sudah dapat dikendalikan, maka normalisasi kehidupan masyarakat merupakan hal pertama yang harus kita lakukan bersama.
Terima kasih. Fastabiqul Khairat.
AD.

kimberly cybersex model.porndigger
http://xxvideos.one amateur jerking huge cock.
tamil sex