Oleh: Syamsul Kurniawan *)
TERORISME adalah “kegilaan”. Bagaimana tidak, saya sebut kegilaan, karena terorisme seringkali menggiring seseorang atau sekelompok orang yang berjuang keras untuk sebuah kematian. Ironisnya, kematian itu bukan kematian pribadi untuk dirinya sendiri, tapi juga mengakibatkan kematian banyak orang lain. Jelas, kegilaan model begini adalah ancaman.
Terorisme jika kita lacak, sudah setua peradaban manusia itu sendiri. Dalam sejarah umat manusia, kita akan menemukan kisah teror pada Habil yang dilakukan oleh saudaranya Qabil yang berakhir dengan terbunuhnya Habil (QS 05: 28). Qabil kemudian menyesali perbuatannya (QS 05: 30-31).
Pada masa Yunani Kuno, Xenophon (431-350 SM) menuliskan dalam bukunya tentang terorisme dalam term “perang psikologis” untuk menaklukkan musuh. Pada awal abad masehi tercatat nama Kaisar Rome Tiberius (14-37) dan Caligula (37-41) yang melakukan terorisme terhadap lawan-lawan politiknya. Aksi teror juga dilakukan Zealot (hidup pada 66-73 M), sebuah organisasi partai politik yang menjadi oposisi terhadap pemerintahan Herodes yang menentang penjajah Roma. Mereka menuntut kemurnian religius dan menentang segala tindakan asusila dan tindakan yang bersifat anti Yahudi. Mereka menggunakan pisau kecil yang disebut sicayang disembunyikan di balik jaket. Dengan senjata sica tersebut, aksi Zealot sering disebut Sicarii.
Aksi sicarri dilakukan dengan cara bercampur orang-orang dipasar. Jika mereka melihat suatu pelanggaran mereka langsung mengambil pisau dan menikam si pelanggar. Metode yang mereka gunakan adalah praktek pembunuhan teroganisir di zaman kuno. Tindakan ini bersifat acak dan menimbulkan ketakutan masyarakat. Motivasi kelompok Zealot adalah agama dan didukung oleh kitab suci.
Terorisme adalah kalimat yang paling banyak digunakan belakangan ini di mana sering dikaitkan dengan aksi kekerasan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok yang tidak di-akui oleh pemerintah yang secara terpisah berupaya mendapatkan kekuasaan atau pengaruh. Mark Juergensmeyer dalam bukunya Terror InThe Mind Of God; The Global Rise of Religious Violence, menyebut bahwa terorisme beberapa di antaranya dilakukan dan dilandasi keyakinan-keyakinan seseorang atas agama yang mereka anut.
Teror sebagai sebuah aksi yang sistematis dikenal sejak Revolusi Perancis (1789-1794). Pada masa itu, muncul apa yang dikenal dengan French Revolution’s terrorism atauregime de la terreur pimpinan Maximilien Robespierre. Regime de la terreur digunakan sebagai instrumen untuk mendirikan Revolusionary State yaitu membentuk sebuah masyarakat baru yang lebih baik. Selain mempunyai kaitan erat dengan revolusi, Maximilien Robespierre, sang pemimpin gerakan, mengaitkan teror dengan kebaikan dan demokrasi.
Terdapat dua karakteristik utama dariFrench Revolution’s terrorism. Pertama, regime de la terreur tidak dilakukan dengan acak random dan tidak juga indiskriminasi, tetapi dilakukan secara terorganisir, terarah dan berhati-hati, serta sistematis. Karakteristik ini yang membedakan regime de la terreur dengan aksi terror yang digambarkan saat ini. Kedua, tujuan French Revolution’s terrorism (regime de la terreur) adalah untuk membentuk sebuah masyarakat baru yang lebih baik.
Pertengahan abad ke-19, di Eropa, revolusi Perancis mengilhami munculnya sentimentil anti monarki (anti penguasa). Pada abad ini, muncul aksi era terorisme baru di mana terorisme dikonotasikan dengan gerakan anti pemerintahan. Aksi-aksi teror digunakan sebagai taktik untuk menggulingkan orang-orang berkuasa. Carlo Pisacane, seorang extrim Republika Italia, melakukan gerakan revolusioner yang disandarkan pada teori “the propaganda by deed”.
Hingga menjelang perang dunia I, terrorisme berkonotasi revolusioner. Bersamaan dengan perang dunia II dan semangat pergerakan kemerdekaan, penggunaan istilah teorisme digunakan dalam perspektif berbeda. Pertama, teroris dikonotasikan dengan gerakan revolusioner. Dan kedua, mengacu pada pemberontakan yang dilakukan kaum nasionalis/anti-kolonialis. Konotasi kedua memicu ketidaksenangan para pejuang kemerdekaan (negara dunia ketiga) dengan stigma teroris. mereka dengan tegas menolak stigma teroris yang melekat pada mereka. Bagi mereka (pejuang kemerdekaan) berjuang untuk kemerdekaan dan kebebasan demi tanah air dari penjajahan bukan terorisme tetapi freedom fighters.
Pada awal tahun 1990, muncul istilah narco terrorism dan istilah gray area phenomenon. Istilah Pertama muncul bersamaan dengan gerakan sekelompok orang dengan motivasi ekonomi yang bergelut dalam perdagangan obat terlarang. Narco terrorism muncul akibat pertemuan antara penjualan obat terlarang dengan penjualan senjata. Sedangkan istilahgray area phenomenon digunakan pada gerakan yang mengancam stabilitas nasional oleh orang atau kelompok bukan negara.
Hingga belakangan ini, istilah terorisme berkembang sedemikian rupa dalam tampilan dan tujuan yang berbeda. Pendek kata, terorisme bertujuan menimbulkan keresahan publik, mengacaukan stabilitas politik, kepentingan ekonomi, bahkan untuk kepentingan pribadi. Pastinya terdapat korban dari macam atau bentuk teroris. Dari yang diberitakan baru-baru ini, peristiwa bentrok antara anggota Polri dengan narapidana teroris di Rutan Salemba Cabang Mako Brimob Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat (8-9/5/2018). Diidentifikasi lima polisi dan satu tewas akibat kerusuhan tersebut (https://www.cnnindonesia.com/nasional/20180509152521-20-296952/lima-polisi-dan-satu-tahanan-tewas-akibat-rusuh-mako-brimob). Hanya selang beberapa hari publik kembali dikejutkan oleh pengeboman di tiga gereja di Surabaya (13/5/2018). Ledakan bom di tiga gereja di Surabaya sementara diidentifikasi 10 orang korban jiwa dan 41 orang mengalami luka-luka (https://news.okezone.com/read/2018/05/13/519/1897653/korban-tewas-bom-gereja-di-surabaya-bertambah-jadi-10-orang).
Karena terorisme mencederai rasa damai dan aman yang kita butuhkan maka apapun bentuknya, terorisme adalah musuh kita bersama. Ada beragam penelitian tentang akar dan cara menanggulangi terorisme. Namun, ada satu hal yang menjadi kunci dari semuanya, yakni kemampuan transendensi. Ini adalah kemampuan manusiawi untuk melihat dunia dengan kaca mata yang lebih luas dari kepentingan diri, keluarga ataupun kelompoknya. Pendek kata, transendensi adalah kemampuan manusia untuk melampaui kepentingan sempit diri dan kelompoknya, lalu melihat dari sudut pandang orang lain, serta kepentingan yang lebih besar. Transendensi terkait erat dengan kemampuan dasar manusia lainnya, yakni empati.
Hakikatnya transendensi sebagai ciri dasar setiap orang. Orang mampu melampaui dorongan-dorongan alamiahnya, dan bertindak berbeda. Orang mampu memilih hakekat dirinya, sesuai dengan pikiran-pikiran dan tindakannya. Dengan transendensi, orang juga mampu melampaui kepentingan sempitnya, dan berpikir dengan sudut pandang yang lebih luas.
Berdasarkan ini, transendensi bisa menjadi obat penyembuh penyakit radikalisme yang menjadi akar dari terorisme. Orang berpikir tidak lagi melulu soal diri, keluarga ataupun kelompoknya, tetapi juga berpikir dari kacamata universal. Transendensi juga membutuhkan empati, yakni kemampuan merasakan dan melihat dunia dari sudut pandang orang lain. Keduanya merupakan unsur dasar bagi terciptanya kesadaran kosmopolitanisme.***
*)Sekretaris Lembaga Hubungan Umat Beragama dan Peradaban PW Muhammadiyah Kalimantan Barat